Minggu, 30 Mei 2021
Oleh Kak Helmi Maulana
Andalan Kwarcab Ciamis Bidang Pembinaan Mental & Spiritual 2020-2025
Judul yang agak sensasional—untuk tidak menyebut provokatif. Saya berusaha mengawali tulisan ini dari sejarah kelahiran Gerakan Pramuka (GP), latar belakang sosial-politik nasional dan internasional pada saat itu, dan kapan mulainya GP masuk/terintegrasi ke sekolah secara formal. Pandangan ini sarat akan pengalaman pribadi semata, bukan mewakili sikap organisasi dan kepengurusan di gugus depan, kwartir, maupun pusdiklat.
GP yang pada mulanya organisasi kepanduan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pergerakan nasional bangsa Indonesia. Sejak sebelum PD-II hingga menjelang 1961 telah ada lebih dari 100 organisasi kepanduan. Selain tidak adanya perhimpunan resmi yang mewadahi semua organisasi, arah kegiatan yang terpaku gaya tradisional kepanduan Inggris, organisasi kepanduan yang ada pada saat itu kurang menyentuh kebutuhan bangsa. Salah satu pertimbangan lahirnya Kepres 238/1961 tentang GP yang ditandatangani oleh Djuanda, pejabat presiden saat itu, GP adalah satu-satunya organisasi yang sah mengurusi pendidikan kepanduan didirikan agar membentuk manusia pemuda Indonesia berpikir dan bertindak atas landasan “manusia-sosialis-Indonesia” dan menjadi kader yang cakap dan bersemangat dalam mewujudkan amanat penderitaan rakyat (ampera).
Menyusul dan menguatkan keputusan sebelumnya, lahir Kepres 448/1961 tentang penganugerahan Panji Gerakan Pendidikan Kepanduan Nasional Indonesia kepada GP sebagai lambang perjuangan bangsa melalui pendidikan kepanduan. Keppres ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 14 Agustus 1961. Tanggal itu disepakati sebagai hari lahir GP, saat ini disebut Hari Pramuka.
Indonesia dengan GP ingin menciptakan organisasi yang mengurusi pendidikan luar sekolah dan pendidikan informal yang diselenggarakan oleh para orang tua sebagai pendidik awal setiap manusia. Lahirnya kebijakan yang diwujudkan dalam kiasan dan simbol-simbol kepanduan di Indonesia sebagai perwujudan jati diri bangsa Indonesia. Siaga kiasan dari perjuangan 1908, Penggalang 1928, Penegak 1945, dan Pandega mengisi kemerdekaan itu sendiri hingga seterusnya menjadi anggota dewasa yang melakukan pembinaan dan pelatihan.
Masa awal lahirnya GP, penggunaan setangan leher tartan dan simpul turki sebagai pengikatnya, manik kayu sempat disingkirkan dari kepanduan kita. GP pernah menarik diri dari WOSM (bahkan saat itu Indonesia keluar dari PBB). Logikanya, simpel: menghindari semua hal yang berbau barat; menghilangkan kolonialisme, dan tidak boleh lupa Baden-Powell orang Inggris yang perlu “dilinggis”—sekaligus “Amerika kita setrika”. Kenapa demikian? Kita semua tahu bahwa masa itu arah politik dan ideologi bangsa Indonesia cenderung mengarah ke “kiri.”
Lahirnya GP tidak lepas dari arus politik yang dilancarkan pada masa demokrasi terpimpin sehingga semua hal diarahkan kepada menyingkirkan semua hal yang berasal dan berbau barat. Lampiran Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 menyebutkan bahwa lahirnya kepanduan GP bertujuan agar kepanduan dibebaskan dari sisa-sisa paham BP. Barulah pada masa awal pemerintahan orde baru Soeharto yang cenderung terbuka kepada barat, GP bergabung kembali dengan WOSM. Artinya, menerima kembali ajaran BP dan tidak menolak barat secara total.
Pada pertengah Agustus 1965 berangkat delapan orang perwakilan (enam dari kementerian dua dari Kwarnas) ke Republik Rakyat Demokrasi Korea untuk mempelajari pengintegrasian GP ke dalam pendidikan. Tim tersebut dipimpin langsung oleh Mendiksarbud Artati Marzuki-Sudirdjo selama dua minggu dan harus menyampaikan laporan lisan dan tertulis kepada Presiden Soekarno tentang hasil-hasil tugas mereka di Korea. Selain ibu meteri, mereka adalah Supardo, S.H. (pembantu menteri bid. teknis pendidikan); Kol. Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo (pembantu menteri bid khusus); Sutarto, M.A. (kepala direktorat pendidikan dasar dan prasekolah); Idris M.T. Hutapea (kepala direktorat pendidikan umum); Dora Rumambi (sekretaris pribadi menteri); Drs. Fuad Hassan (anggota Kwarnas); dan Dr. H. Sujono (anggota Kwarnas). Tim tersebut dilegalkan dengan Keppres Nomor 192 Tahun 1965 yang ditandatangani oleh Soekarno pada 23 Juni 1965.
Sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2010 bahwa GP sebagai organisasi pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan bagi kaum muda agar berkualitas sehingga mampu mengisi kemerdekaan dan membangun dunia yang lebih baik. GP sebagai organisasi pendidikan (bukan organisasi sosial-politik) yang keanggotaannya bersifat suka-rela, mandiri, toleran, dan bebas sara berada di luar sekolah dan di luar keluarga.
Proses pendidikan kepramukaan menggunakan sistem among dan dilengkapi delapan metode kepramukaan dikemas dengan menggunakan kiasan dasar yang bersumber dari sejarah perjuangan bangsa. Komitmen pramuka ada pada janji dwi/tri satya. Kehormatan tercermin pada dwi/dasa darma yang dilaksanakan baik dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat secara suka dan rela.
Satuan pendidikan kepramukaan berada di dua ranah: gudep dan pusdiklat. Pusdiklat sebagai lembaga pendidikan anggota dewasa agar memiliki kompetensi dan lisensi membina di gudep. Gudep sebagai satuan pendidikan dan satuan organisasi terdepan penyelenggara pendidikan kepramukaan yang dikoordinir oleh kwartir berbasis di dua lokasi, yaitu gudep lembaga pendidikan formal (sekolah) dan gudep komunitas.
Jumlah peserta didik meningkat secara signifikan (data pada 2018 hampir 26 juta orang) seiring diberlakukannya Permendiknas Nomor 63 Tahun 2014 tentang kegiatan eskul wajib kepramukaan bagi siswa di sekolah dasar, menengah, dan lanjutan. Saya sendiri tidak memiliki data berapa orang anggota pramuka dari gudep bebrbasis komunitas, mungkin karena saking sedikitnya tidak mudah menemukan datanya. Dari segi kuantitas, pramuka Indonesia merupakan anggota terbanyak di WOSM.
Sampai sekarang benak kita menyimpan memori bahwa gudep berada di sekolah. Lantas, apa bedanya sekolah dengan GP? Ya itu-itu saja: pembina gudep sama dengan guru di sekolah itu, pesdiknya adalah siswa sekolah itu juga, kegiatan latihan pramuka di kelas, jarang di alam terbuka. Apalagi sudah masuk pada kurikulum sekolah, evaluasi pendidikan kepramukaan akhirnya berbasis buku lapor. Semestinya, penilaian atas hasil pendidikan kepramukaan dilaksanakan dengan berdasarkan pada pencapaian SKU dan SKK serta pencapaian nilai-nilai kepramukaan (SPG dan Pramuka Teladan).
Saya dan beberapa pembina gudep berusaha mewujudkan idealisme itu. Hasilnya bisa Anda bayangkan sendiri, untuk tidak mengatakan gagal, saya cari cara lain. Bukan karena sekolah dan GP tidak bisa berkolaborasi, tapi, memang cengkraman sekolah dan birokrasi kedinasannya terlalu kuat terhadap gudep sehingga tidak bisa berkembang lebih jauh. Pernah juga mau mengembangkan “sekolah pramuka,” terbentur dengan legalitas, dan seterusnya. Akhirnya, saya dan teman saya itu mendirikan klub pencinta alam yang sebenarnya tujuan pendirian klub itu ingin membuat suasana gudep lebih cair lagi, lepas dari cengkraman sekolah. Anggota klub itu berasal dari berbagai sekolah, beragam umur, dan minat yang sama: pendaki gunung. Literatur yang saya gunakan tetap literatur yang biasa dipakai di GP, yaitu dua bukun BP, Scouting for Boys dan Scouting for Girls. Untuk urusan tali-temali saya merujuk kepada Book of Knots-nya Clifford W. Ashley.
Usul saya: kwartir perlu membuat rancangan pembentukan gudep berbasis komunitas lebih gencar lagi. Gudep berbasis komunitas meliputi gudep berbasis kerwilayahan, basis agama, profesi, ormas, dan komunitas lain. Yang saya maksud gudep berbasis komunitas bukan satuan komunitas (sako). Sako merupakan himpunan dari gudep berbasis komunitas yang mempunyai kekhususan dalam: profesi, aspirasi, dan agama, karena pada. Sekolah alam yang digagas beberapa tokoh di negara ini saya kira menjadi contoh bagaimana sebuah komunitas berkumpul menyelenggarakan pendidikan berbasis alam. Sebut saja Sakola Motekar, misalnya, di Sukajadi, Ciamis, Jawa Barat adalah salah satu contoh lembaga pendidikan non-formal yang sejatinya itu adalah “pramuka baget.”
Harapan dari lahirnya gudep berbasis komunitas harus menjadi penyeimbang dan pengisi kekosongan pendidikan kepramukaan yang selama ini “terlalu sekolah.” Kurikulum GP jelas berbeda dengan sekolah. Sama halnya pramuka di luar negeri lebih banyak berasal dari gudep berbasis komunitas. Tidak mudah menjadi anggota scout di LN karena ketatnya dan kekhasan pendidikan sehingga tidak semua orang bisa dan mampu menjadi dan menjalani pendidikan kepramukaan. Mungkin itu salah satu alasan kenapa di Inggris sendiri tempat kelahiran kepanduan dunia tidak banyak anak mudanya yang masuk organisasi scout. Satu kata: kualitas harus diutamakan daripada kuantitas.
Gudep yang ada di sekolah formal bukan berati tidak berkontribusi dalam menyukseskan tujuan GP. Selama ini yang mengisi kemerdekaan dan mengharumkan nama bangsa di mata dunia adalah pramuka berasal dari gudep sekolah itu juga. Bukan pula GP tidak berkolaborasi dengan kedinasan dalam memadukan kurikulum sekolah dan kepramukaan secara proporsional. Konsep integrasi dan interkoneksi di era disruptif ini harus menjadi arus utama. Namun, pengintegrasian pendidikan kepramukaan terhadap kurikulum pendidikan formal jangan sampai memudarkan makna dan kekhasan pendidikan kepramukaan itu sendiri.
Selama masa pandemi, sekolah libur pramuka pun libur. Inilah salah satunya kenapa pramuka tidak bisa bersinar terang di masa covid-19 ini. Pramuka terlalu rekat dengan sekolah, saatnya sekarang pramuka menjaga jarak dengan lembaga itu. Menjaga jarak bukan berarti memisahkan diri, namun berusaha mengambil jarak agar panorama masalah, fakta, dan data bisa terlihat jelas dan mampu memberikan solusi tepat sebagaimana kita memandang gunung akan menjadi lebih jelas dan indah manakala kita berada jauh darinya. Semoga.
Sumber: https://www.facebook.com/100001765926598/posts/4137153303020160/?flite=scwspnss
Tidak ada komentar:
Posting Komentar