Kamis, 26 Januari 2012

Realita dan Kendala yang Dihadapi Pandega Gudep Yang Berpangkalan di Perguruan Tinggi

   Apabila memperhatikan sejarah munculnya golongan Pramuka Pandega maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan golongan Pandega diharapkan mampu memberi­kan peranan yang penting bagi pembentukan dan pengembangan calon-calon Pembina Pramuka yang berkualitas. Demikian pula halnya keberadaan Pramuka Pandega Gugus­depan yang berpangkalan di perguruan tinggi, diharapkan pula dapat memberikan sumbangan dalam pencetakan Pembina Pramuka yang cakap, tangguh dan berkualitas. Namun demikian, setelah lebih 30 tahun usaha pengembangan Pramuka Pandega Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi yang dilakukan melalui regulasi oleh Kwartir Nasional dan Ditjen Dikti Depdikbud, dan kegiatan-kegiatan tingkat regional dan nasional (baik kegiatan bakti maupun diskusi, lokakarya, simposium dan sebagainya) tidak dapat memberikan hasil yang signifikan terhadap konsep yang telah digulirkan.

Kenyataan tersebut dapat diketahui dari laporan-laporan dan pengamatan bahwa masih banyak kesulitan bagi satuan-satuan (baca: Gugusdepan) dalam memperoleh Pembina berkualitas.
Bahkan tidak hanya Pembina yang berkualitas, tetapi usaha memenuhi Pembina juga merupakan kesulitan. Kekurangan tenaga Pembina ini semakin dirasakan setelah dialihfungsikannya Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sehingga Gerakan Pramuka merasa kehilangan salah satu sumber dalam upaya pencetakan Pembina Pramuka.
Memperhatikan kondisi seperti itu, kemudian kita akan bertanya: Lantas apa yang sebenarnya telah kita perbuat selama ini? Kiranya sulit saya mengatakan siapa yang salah, karena persoalan yang membelit dalam pembinaan Pramuka Pandega Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi ibarat benang kusut. Untuk itulah saya lebih suka menyatakan pertanyaan seperti di atas.

Ide Dasar Golongan Pandega dan Racana Pandega
Membicarakan ide dasar golongan Pandega tidak akan terlepas dari dua hal, yaitu (1) sejarah munculnya golongan Pandega di Indonesia dan (2) ide dasar Baden Powell (BP) tentang Rovering.
Memperhatikan munculnya golongan Pandega sebagai satuan pendidikan dalam Gerakan Pramuka dapat dikatakan unik. Pertama kali golongan Pandega diujicobakan oleh Drs. Fuad Hassan pada tahun 1964 (Alm. Prof Dr. Fuad Hassan, mantan Mendikbud) di Fakultas Psikologi UI, yang pada waktu itu masih berupa eksperimen yang berusaha membentuk satuan khusus Pramuka bagi para mahasiswa yang telah lepas dari usia Penegak. Memang pada awalnya tidak ditujukan untuk membentuk satuan pendidikan baru sebagai kelanjutan dari golongan Penegak. Namun perkembangan berikutnya, pada Musppanitra III tahun 1974 di Ujung Pandang satuan Pandega diputuskan menjadi satuan pendidikan, dan pada tahun itu pula Kwartir Nasional memasukkan ke dalam Petunjuk Penyelenggaraan Gugusdepan. Baru sejak itulah sebe­narnya golongan Pandega resmi menjadi satuan pendidikan dalam Gerakan Pramuka.
Menilik perkembangannya, eksistensi golongan Pandega sulit dipisahkan dari golongan Penegak, kecenderungan ini masih dapat diamati hingga masa sekarang. Berbagai kebijakan tentang golongan Pandega selalu diintegrasikan dengan golongan Penegak. Hal ini tidak dapat terlepas dari pengaruh konsep pembagian peserta didik dalam kepanduan oleh BP, yaitu hanya dikenal Cub (Siaga), Scout (Penggalang) dan Rover (Penegak). Dan memang pada berbagai negara ada yang menambah lagi golon­gan setelah Penegak yaitu Senior Rover. Walaupun istilah Rover dan konsep Rovering masih melekat pada aktivitasnya. Implementasi nyata konsepsi Rovering (dapat dibaca buku karya BP berjudul Rovering to Success) adalah pada bentuk-bentuk kegiatan serta penggunaan kelembagaan Racana, Dewan  Racana beserta pengurusnya dan adanya tata adat Racana.
Golongan Pandega merupakan satuan pendidikan terakhir dalam Gerakan Pramuka sebelum seorang anggota Pramuka melepaskan atributnya sebagai peserta didik. Ditinjau dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa golongan Pandega merupakan satuan pendidikan yang berat, karena secara langsung harus mampu menyiapkan peserta didik untuk berperan aktif terjun di masyarakat. Di samping itu menyiapkan Pandega menjadi kader Gerakan Pramuka.
Selanjutnya, golongan Pandega sebagai satuan pendidikan dalam Gerakan Pramuka harus dipandang secara komprehensif dengan satuan pendidikan sebelumnya, dan dengan strategi pencapaian tujuan Gerakan Pramuka. Karenanya Pandega disamping sebagai peserta didik, dia juga diberi kesempatan untuk mengabdi serta mengelola kegiatan dan pendidikan. Justru pada bentuk pengabdian dan proses pemandirian inilah esensi bentuk dan arahan pembinaan Pramuka Pandega. Dan esensi inilah yang akan dapat membedakan antara golongan Pandega dan golongan Penegak.
Usaha pembinaan Pramuka Pandega di tingkat Gugusdepan dilakukan pada wadah pembinaan yang disebut Racana. Di dalam Racana, yang merupakan sekelompok Pramuka usia 21 tahun sampai dengan 25 tahun di bawah bimbingan seorang Pramuka Pandega, berlangsung suatu proses pendidikan yang lebih banyak merupakan proses interaksi antar Pandega itu sendiri. Proses interaksi itu mendorong proses sosialisasi berbagai nilai, norma, sikap, pengetahuan, bahkan keterampilan. Jadi proses itu tidak dipolakan seperti hubungan Pembina memberi dan Pandega menerima. Juga akan menjadi sulit diterima manakala latihan rutin Racana dipolakan seperti latihan Pasukan Penggalang, maksudnya adalah adanya pola dan pendekatan latihan rutin.
Racana disebut sebagai wadah pembinaan karena dalam mensosialisasikan berbagai aspek budaya dan kehidupan didasarkan pada arahan dan peraturan yang telah ditetapkan dalam kerangka upaya pencapaian tujuan Gerakan Pramuka. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pencapaian Syarat-syarat Kecakapan Umum (SKU) dan Sya­rat-syarat Kecakapan Khusus (SKK) serta penghayatan kode kehormatan. Oleh karena itu Racana harus memiliki seperangkat program, dan kemantapan kelembagaannya (dalam arti bukan mantap berotonomi, disini kita yang kadang-kadang sulit menempat­kan diri karena berfungsi sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa), namun Racana sebagai wadah pembinaan benar-benar harus melembaga dan berstruktur melalui jalur Kwartir­nya.
Racana sebagai wadah pembinaan, titik tolak dalam proses pendidikannya terle­tak pada aspek pengetahuan dan sikap. Hal ini sesuai dengan pandangan Lord Baden Powell bahwa titik berat pendidikan kepanduan adalah pada pembinaan watak dan kecerdasan yang arahannya ditujukan agar seorang Pandu (Pramuka) dapat mandiri dan mampu menolong orang lain. Aspek pengembangan sikap dalam Racana diarahkan melalui perangkat sosialisasi yang disebut dengan tata adat Racana.
Jadi Racana akan memiliki seperangkat kegiatan yang terprogram, kelembagaan dan tata adat Racana. Ketiga hal tersebut akan menentukan bagaimana bentuk interaksi antar warga Racana, antara warga Racana dengan Pembina Pandega.

Arahan Kegiatan Racana Pandega
Kegiatan Racana Pandega diarahkan pada pembentukan kepribadian yang mandiri, sehingga akan berlangsung proses pemandirian individu. Upaya ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan jiwa Pramuka Pandega. Arahan berikutnya adalah pengembangan sikap dan perilaku bakti (pengabdian). Untuk mencapai kemandirian dan pengabdian Pandega, diperlukan berbagai tahapan kegiatan atau program yang konsis­ten dengan tujuan dan sasaran Gerakan Pramuka serta berbagai kebijakan tentang pembinaan dan pengembangan Pramuka Penegak dan Pandega.
Konsep yang dikenal untuk maksud di atas adalah konsep tri bina, yang meliputi bina diri, bina satuan dan bina masyarakat.
  1. Bina diri, yaitu usaha memperluas dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan, serta membina kepribadian yang dilakukan melalui pertemuan rutin, pendidikan dan kegiatan-kegiatan lainnya.
  2. Bina satuan, yaitu upaya meningkatkan kompetensi dalam kepemimpinan dan ma­najemen serta upaya kaderisasi kepemimpinan Gerakan Pramuka. Termasuk dalam bina satuan misalnya membina Siaga atau Penggalang, menjadi pengurus Dewan Racana, anggota Dewan Kerja dan lain-lain.
  3. Bina masyarakat, yaitu upaya meningkatkan kesadaran sosial dan pengabdian agar lebih dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan sekaligus meletakkan landasan bagi masa depannya.
Lebih lanjut, dinyatakan bahwa Pramuka Pandega di Racana Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi dibina dan dikembangkan agar menjadi kader Pembina Pramuka. Dengan demikian program dan kegiatan Racana harus diarahkan pada pembinaan dan pembentukan calon-calon Pembina yang terampil, cakap dan tangguh. Oleh karena itu pengelola Racana hendaknya dapat menerapkan konsep tri bina secara proporsional. Karenanya hal yang membedakan Racana Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi adalah tugas pengkaderan Calon Pembina yang secara eksplisit ditekankan pada Racana Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi.

Perkembangan yang Terjadi
Dengan memperhatikan ide dan konsep dasar di atas, maka pertanyaan yang layak diajukan adalah: Sudahkah pelaksanaan kegiatan Pramuka Pandega sesuai dengan kodratnya? Nampaknya kita belum dapat menunjukkan jati diri kita sesuai dengan kodrat (baca: ide dan konsep dasar golongan Pramuka Pandega) yang telah digariskan namun kita baru bisa menyerah pada nasib, sehingga kita hanya bisa merenungi nasib kita. Saya berani mengatakan demikian karena kenyataannya pada umumnya Racana belum mampu berbuat banyak terhadap upaya pengkaderan Pembina Pramuka. Sehing­ga masalah kekurangan jumlah dan kualitas Pembina Pramuka belum dapat teratasi, secara nasional kekurangan Pembina dan masalah kualitas Pembina Pramuka yang ada sekarang ini telah menjadi masalah serius yang harus segera kita pecahkan bersama.
Adapun yang saya maksudkan dengan konotasi nasib adalah suatu kenyataan bahwa sebagian besar racana terjebak dengan sistem lembaga kemahasiswaan yang ada. Ada semacam kesulitan mendudukkan kelembagaan Racana berdampingan dengan lembaga kemahasiswaan. Inilah nasib pertama yang harus kita jalani. Akibatnya kita harus menjalani nasib kedua, yaitu bahwa para Pramuka Pandega terjebak dengan kegiatannya sendiri, baik itu yang diprogramkan oleh Racana/Gugusdepan maupun adanya paket kegiatan dari rekorat. Karena nasib itulah, maka kita seakan lupa dengan kodrat golongan Pandega yaitu suatu tahapan usia yang harus siap menjadi calon Pembina Pramuka dan karena program-program Racana sesuai kodratnya harus mengarahkan pada program bina satuan.
Kenyataannya berapa Racana yang telah memprogramkan bina satuan secara eksplisit dan kontinyu? Artinya program bina satuan tidak hanya melekat pada even ulang Gugusdepan saja, melainkan telah menjadi suatu keharusan dalam keseharian kehidupan Racana Pandega.
Mengapa bisa demikian hanya nasib kita? Tadi telah saya ungkapkan faktor eksternal, yaitu sistem dan dinamika lembaga kemahasiswaan. Sebenarnya faktor eksternal itu bisa kita eliminir apabila faktor internal kita kuat, justru disinilah saya melihat kelemahannya. Beberapa kelemahan faktor internal yang dapat saya ungkapkan adalah:
  1. Kurangnya pemahaman Pembina Pandega terhadap konsep Pramuka Pandega. Mengapa ini bisa terjadi, kita tidak bisa menyalahkan pada para Pembina, lagi-lagi nasiblah yang bisa kita ratapi. Mengapa? Baiklah kita tengok program pencetakan Pembina Pramuka Pandega yang dilakukan melalui Kursus Mahir Dasar (KMD) dan Kursus Mahir Lanjutan (KML). Kita kaji kurikulum dan pelaksanaan secara nasional KMD dan KML, adakah materi yang berkaitan dengan kelembagaan, program dan arahan kegiatan, serta tata adat Racana disampaikan dengan semestinya? Tidak, bukan? Hal itu akan lebih menyedihkan lagi apabila kodrat yang dimaksud kita gunakan tolok ukur Rovering. Sehingga sebenarnya tidak pada tempatnya apabila kita terlalu banyak menuntut pada Kakak Pembina karena memang bekal yang dimiliki, secara formal, tidak sesuai dengan kodratnya.
  2. Sebagian aktivis Racana yang diduga kurang memiliki pemahaman pendidikan kepramukaan secara komprehensif disebabkan (a) tidak adanya kontinyuitas pendidikan kepramukaan yang dialami aktivis itu, dan (b) lemahnya sub faktor Pembina sehingga menyebabkan kurangnya pemahaman pada diri Pramuka Pandega.
Kedua faktor inilah yang nampaknya membuat Racana akan selalu sulit berkembang. Sebetapapun hebatnya sebuah Racana dapat mencetak pemikir dan praktisi kepramukaan namun apabila tidak diikuti kedekatan pemahaman dan kemampuan Pembina Pramuka dengan kodratnya adalah suatu yang naif, karena peserta didik (Pandega) selalu datang pergi sementara itu yang relatif tetap di satuan adalah Pembinanya. Sehingga mestinya sosialisasi kelembagaan, program dan arahan kegiatan serta tata adat Racana harus diberikan sejak KMD dan diperdalam pada KML.

Bina Satuan Terpadu
Mau tidak mau agar kita tidak dikatakan menyalahi kodrat, maka langkah yang paling strategis adalah merealisasikan program bina satuan secara eksplisit dan kontinyu. Memang saat ini ada sebagian kecil Pramuka Pandega yang tidak mau menging­kari kodratnya, yaitu dengan cara melakukan bina satuan di Perindukan, Pasukan atau Ambalan. Sayang hal ini belum dilakukan secara terprogram dan melembaga sehingga sulit dilakukan kontrol aktivitas dan kualitas.
Adapun yang dimaksud bina satuan terprogram adalah bahwa bina satuan dican­tumkan ke dalam salah satu butir program kerja tahunan pada Racana dan secara eksplisit ada tindak lanjutnya. Sedangkan yang dimaksudkan melembaga yaitu adanya bentuk ikatan kerjasama antara Racana/Gugusdepan dengan Gugusdepan yang ditempati sebagai ajang bina satuan. Salah satu butir ikatan kerjasama yang diusulkan adalah kesediaan Gugusdepan lokasi bina satuan untuk menerima Pramuka Pandega sebagai Pembantu Pembina Satuan yang akan berlatih dan mengembangkan kemampuan dirinya di satuan tersebut, keberadaan Pramuka Pandega dibatasi waktu untuk satu tahun pro­gram berikutnya. Dengan kedudukan sebagai Pembantu Pembina Satuan saya pikir tidak akan berpengaruh terhadap ketentuan batasan waktu bina satuan, karena bagaima­napun juga Pembina Satuan merupakan orang pertama di satuan itu.
Apabila program bina satuan ini berjalan, maka latihan rutin di Racana tidak akan terpola seperti latihan Pasukan Penggalang/Ambalan Penegak. Karena latihan rutin akan berubah fungsi sebagai ajang bertukar pikiran terhadap pelaksanaan bina satuan, pada kesempatan inilah akan berlangsung proses pembelajaran yang tidak kita duga dampaknya. Saya yakin bahwa pola pendekatan  seperti itu akan mampu menggarap realitas permasalahan pendidikan kepramukaan, dan karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk memperbaiki keadaan. Oleh Paulo Freire (1986: 35-47) hal tersebut dikatakan makna dan hakekat praxis, yaitu :



Dalam bahasa kita, praxis dapat kita sebut dengan “manunggal karsa, kata dan karya” karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Ketiga aspek itu tidak dapat dipisahkan, jika dipisahkan maka akan ada dua kutub ekstrem yaitu pendewaan berlebihan pada kata (sebagaimana juga pendewaan berlebihan terhadap konsep dasar dan regulasi Kwarnas/Dikti tanpa diikuti aksi nyata) atau pendewaan berlebihan pada kerja.
Menyimak strategi pembelajaran yang demikian maka proses pendidikan kepra­mukaan di Racana (baca : melalui program bina satuan) setiap waktu dalam prosesnya akan merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan (praktek di satuan), kemudian tindakan itu direfleksikan kembali (melalui pertemuan/latihan rutin di Racana), dan refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikannya merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus menerus.
Dengan pendekatan bina satuan tersebut maka akan dapat menghilangkan kebo­sanan Pandega dalam mengikuti latihan rutin. Lantas pasti akan dipertanyakan: dimana keberadaan latihan rutin bagi Pramuka Pandega? Menurut saya, latihan rutin di Racana sebagaimana bentuk latihan Pasukan dan Ambalan sudah tidak ada.
Gantinya kita gunakan pendekatan pengalaman berstrukturnya Pfeiffer dan Jones (1986: 151-158), yaitu melalui tahapan mengalami, mengungkapkan, mengolah, menyimpulkan dan menerapkan. Berdasarkan pendekatan pembelajaran pengalaman berstruktur inilah maka sebenarnya seluruh kegiatan Racana baik yang terprogram maupun insidental adalah merupakan media latihan rutin bagi Pramuka Pandega. Hanya masalahnya bagaimana kita secara sadar dapat mengolah seluruh aktivitas sehingga mampu membelajarkan Pramuka Pandega.
Selanjutnya, agar program bina satuan ini dapat ditindaklanjuti maka diperlukan adanya (1) gerakan penyadaran diri terhadap kodratnya; dan (2) langkah-langkah terpa­du antar masing-masing Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi dengan Kwartirnya. Hal kedua inilah yang saya sebut Bina Satuan Terpadu.
Adapun maksud Bina Satuan Terpadu adalah program bina satuan yang melibat­kan seluruh/beberapa Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi dengan keter­paduan dalam aspek (1) pembagian lokasi bina satuan, dimana dalam hal ini di bawah koordinasi Kwartir Cabang/Kwartir Ranting; (2) secara berkala (berkala tengah tahunan) mengadakan pertemuan evaluasi pelaksanaan program bina satuan; dan (3) menda­tangkan Pelatih Pembina Pramuka dalam pertemuan evaluasi bina satuan di Racana masing-masing atau secara gabungan dengan bimbingan/bantuan Korps Pelatih Cabang.
Kiranya dengan pendekatan praxis dan keterpaduan bina satuan ini kita dapat sedikit demi sedikit mengurai benang kusut yang melilit Gerakan Pramuka. Sekaligus merupakan tindakan nyata bakti Pramuka Pandega dalam usaha ikut serta mengembangkan sumber daya manusia dalam Gerakan Pramuka. Be Prepared!

Fauzi Eko Pranyono adalah mantan Pemangku Adat dan mantan Ketua Racana WR Supratman Gudep Yogyakarta 007



Tidak ada komentar:

Posting Komentar