Kenyataan tersebut dapat diketahui
dari laporan-laporan dan pengamatan bahwa masih banyak kesulitan bagi
satuan-satuan (baca: Gugusdepan) dalam memperoleh Pembina berkualitas.
Bahkan tidak hanya Pembina yang
berkualitas, tetapi usaha memenuhi Pembina juga merupakan kesulitan. Kekurangan
tenaga Pembina ini semakin dirasakan setelah dialihfungsikannya Sekolah
Pendidikan Guru (SPG), sehingga Gerakan Pramuka merasa kehilangan salah satu
sumber dalam upaya pencetakan Pembina Pramuka.
Memperhatikan kondisi seperti itu,
kemudian kita akan bertanya: Lantas apa yang sebenarnya telah kita perbuat
selama ini? Kiranya sulit saya mengatakan siapa yang salah, karena persoalan
yang membelit dalam pembinaan Pramuka Pandega Gugusdepan yang berpangkalan di
perguruan tinggi ibarat benang kusut. Untuk itulah saya lebih suka menyatakan
pertanyaan seperti di atas.
Ide Dasar Golongan Pandega dan
Racana Pandega
Membicarakan ide dasar golongan
Pandega tidak akan terlepas dari dua hal, yaitu (1) sejarah munculnya golongan
Pandega di Indonesia dan (2) ide dasar Baden Powell (BP) tentang Rovering.
Memperhatikan munculnya golongan
Pandega sebagai satuan pendidikan dalam Gerakan Pramuka dapat dikatakan unik.
Pertama kali golongan Pandega diujicobakan oleh Drs. Fuad Hassan pada tahun
1964 (Alm. Prof Dr. Fuad Hassan, mantan Mendikbud) di Fakultas Psikologi UI,
yang pada waktu itu masih berupa eksperimen yang berusaha membentuk satuan
khusus Pramuka bagi para mahasiswa yang telah lepas dari usia Penegak. Memang
pada awalnya tidak ditujukan untuk membentuk satuan pendidikan baru sebagai
kelanjutan dari golongan Penegak. Namun perkembangan berikutnya, pada
Musppanitra III tahun 1974 di Ujung Pandang satuan Pandega diputuskan menjadi
satuan pendidikan, dan pada tahun itu pula Kwartir Nasional memasukkan ke dalam
Petunjuk Penyelenggaraan Gugusdepan. Baru sejak itulah sebenarnya golongan
Pandega resmi menjadi satuan pendidikan dalam Gerakan Pramuka.
Menilik perkembangannya, eksistensi
golongan Pandega sulit dipisahkan dari golongan Penegak, kecenderungan ini
masih dapat diamati hingga masa sekarang. Berbagai kebijakan tentang golongan
Pandega selalu diintegrasikan dengan golongan Penegak. Hal ini tidak dapat
terlepas dari pengaruh konsep pembagian peserta didik dalam kepanduan oleh BP,
yaitu hanya dikenal Cub (Siaga), Scout (Penggalang)
dan Rover (Penegak). Dan memang pada berbagai negara ada yang
menambah lagi golongan setelah Penegak yaitu Senior Rover.
Walaupun istilah Rover dan konsep Rovering masih
melekat pada aktivitasnya. Implementasi nyata konsepsi Rovering (dapat dibaca
buku karya BP berjudul Rovering to Success) adalah pada
bentuk-bentuk kegiatan serta penggunaan kelembagaan Racana, Dewan Racana
beserta pengurusnya dan adanya tata adat Racana.
Golongan Pandega merupakan satuan
pendidikan terakhir dalam Gerakan Pramuka sebelum seorang anggota Pramuka
melepaskan atributnya sebagai peserta didik. Ditinjau dari hal tersebut dapat
dikatakan bahwa golongan Pandega merupakan satuan pendidikan yang berat, karena
secara langsung harus mampu menyiapkan peserta didik untuk berperan aktif
terjun di masyarakat. Di samping itu menyiapkan Pandega menjadi kader Gerakan
Pramuka.
Selanjutnya, golongan Pandega
sebagai satuan pendidikan dalam Gerakan Pramuka harus dipandang secara
komprehensif dengan satuan pendidikan sebelumnya, dan dengan strategi
pencapaian tujuan Gerakan Pramuka. Karenanya Pandega disamping sebagai peserta
didik, dia juga diberi kesempatan untuk mengabdi serta mengelola kegiatan dan
pendidikan. Justru pada bentuk pengabdian dan proses pemandirian inilah esensi
bentuk dan arahan pembinaan Pramuka Pandega. Dan esensi inilah yang akan dapat
membedakan antara golongan Pandega dan golongan Penegak.
Usaha pembinaan Pramuka Pandega di
tingkat Gugusdepan dilakukan pada wadah pembinaan yang disebut Racana. Di dalam
Racana, yang merupakan sekelompok Pramuka usia 21 tahun sampai dengan 25 tahun
di bawah bimbingan seorang Pramuka Pandega, berlangsung suatu proses pendidikan
yang lebih banyak merupakan proses interaksi antar Pandega itu sendiri. Proses
interaksi itu mendorong proses sosialisasi berbagai nilai, norma, sikap,
pengetahuan, bahkan keterampilan. Jadi proses itu tidak dipolakan seperti
hubungan Pembina memberi dan Pandega menerima. Juga akan menjadi sulit diterima
manakala latihan rutin Racana dipolakan seperti latihan Pasukan Penggalang,
maksudnya adalah adanya pola dan pendekatan latihan rutin.
Racana disebut sebagai wadah pembinaan
karena dalam mensosialisasikan berbagai aspek budaya dan kehidupan didasarkan
pada arahan dan peraturan yang telah ditetapkan dalam kerangka upaya pencapaian
tujuan Gerakan Pramuka. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pencapaian
Syarat-syarat Kecakapan Umum (SKU) dan Syarat-syarat Kecakapan Khusus (SKK)
serta penghayatan kode kehormatan. Oleh karena itu Racana harus memiliki
seperangkat program, dan kemantapan kelembagaannya (dalam arti bukan mantap
berotonomi, disini kita yang kadang-kadang sulit menempatkan diri karena
berfungsi sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa), namun Racana sebagai wadah
pembinaan benar-benar harus melembaga dan berstruktur melalui jalur Kwartirnya.
Racana sebagai wadah pembinaan,
titik tolak dalam proses pendidikannya terletak pada aspek pengetahuan dan
sikap. Hal ini sesuai dengan pandangan Lord Baden Powell bahwa titik berat
pendidikan kepanduan adalah pada pembinaan watak dan kecerdasan yang arahannya
ditujukan agar seorang Pandu (Pramuka) dapat mandiri dan mampu menolong orang
lain. Aspek pengembangan sikap dalam Racana diarahkan melalui perangkat
sosialisasi yang disebut dengan tata adat Racana.
Jadi Racana akan memiliki
seperangkat kegiatan yang terprogram, kelembagaan dan tata adat Racana. Ketiga
hal tersebut akan menentukan bagaimana bentuk interaksi antar warga Racana,
antara warga Racana dengan Pembina Pandega.
Arahan Kegiatan Racana Pandega
Kegiatan Racana Pandega diarahkan
pada pembentukan kepribadian yang mandiri, sehingga akan berlangsung proses
pemandirian individu. Upaya ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan jiwa
Pramuka Pandega. Arahan berikutnya adalah pengembangan sikap dan perilaku bakti
(pengabdian). Untuk mencapai kemandirian dan pengabdian Pandega, diperlukan
berbagai tahapan kegiatan atau program yang konsisten dengan tujuan dan
sasaran Gerakan Pramuka serta berbagai kebijakan tentang pembinaan dan
pengembangan Pramuka Penegak dan Pandega.
Konsep yang dikenal untuk maksud di
atas adalah konsep tri bina, yang meliputi bina diri, bina satuan dan bina
masyarakat.
- Bina
diri, yaitu usaha memperluas dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan,
serta membina kepribadian yang dilakukan melalui pertemuan rutin,
pendidikan dan kegiatan-kegiatan lainnya.
- Bina
satuan, yaitu upaya meningkatkan kompetensi dalam kepemimpinan dan manajemen
serta upaya kaderisasi kepemimpinan Gerakan Pramuka. Termasuk dalam bina
satuan misalnya membina Siaga atau Penggalang, menjadi pengurus Dewan
Racana, anggota Dewan Kerja dan lain-lain.
- Bina
masyarakat, yaitu upaya meningkatkan kesadaran sosial dan pengabdian agar
lebih dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan sekaligus
meletakkan landasan bagi masa depannya.
Lebih lanjut, dinyatakan bahwa
Pramuka Pandega di Racana Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi
dibina dan dikembangkan agar menjadi kader Pembina Pramuka. Dengan demikian
program dan kegiatan Racana harus diarahkan pada pembinaan dan pembentukan
calon-calon Pembina yang terampil, cakap dan tangguh. Oleh karena itu pengelola
Racana hendaknya dapat menerapkan konsep tri bina secara proporsional.
Karenanya hal yang membedakan Racana Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan
tinggi adalah tugas pengkaderan Calon Pembina yang secara eksplisit ditekankan
pada Racana Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi.
Perkembangan yang Terjadi
Dengan memperhatikan ide dan konsep
dasar di atas, maka pertanyaan yang layak diajukan adalah: Sudahkah pelaksanaan
kegiatan Pramuka Pandega sesuai dengan kodratnya? Nampaknya kita belum dapat
menunjukkan jati diri kita sesuai dengan kodrat (baca: ide dan konsep dasar
golongan Pramuka Pandega) yang telah digariskan namun kita baru bisa menyerah
pada nasib, sehingga kita hanya bisa merenungi nasib kita. Saya berani
mengatakan demikian karena kenyataannya pada umumnya Racana belum mampu berbuat
banyak terhadap upaya pengkaderan Pembina Pramuka. Sehingga masalah kekurangan
jumlah dan kualitas Pembina Pramuka belum dapat teratasi, secara nasional
kekurangan Pembina dan masalah kualitas Pembina Pramuka yang ada sekarang ini
telah menjadi masalah serius yang harus segera kita pecahkan bersama.
Adapun yang saya maksudkan dengan
konotasi nasib adalah suatu kenyataan bahwa sebagian besar racana terjebak
dengan sistem lembaga kemahasiswaan yang ada. Ada semacam kesulitan mendudukkan
kelembagaan Racana berdampingan dengan lembaga kemahasiswaan. Inilah nasib
pertama yang harus kita jalani. Akibatnya kita harus menjalani nasib kedua,
yaitu bahwa para Pramuka Pandega terjebak dengan kegiatannya sendiri, baik itu
yang diprogramkan oleh Racana/Gugusdepan maupun adanya paket kegiatan dari
rekorat. Karena nasib itulah, maka kita seakan lupa dengan kodrat golongan
Pandega yaitu suatu tahapan usia yang harus siap menjadi calon Pembina Pramuka
dan karena program-program Racana sesuai kodratnya harus mengarahkan pada
program bina satuan.
Kenyataannya berapa Racana yang
telah memprogramkan bina satuan secara eksplisit dan kontinyu? Artinya program
bina satuan tidak hanya melekat pada even ulang Gugusdepan saja, melainkan
telah menjadi suatu keharusan dalam keseharian kehidupan Racana Pandega.
Mengapa bisa demikian hanya nasib
kita? Tadi telah saya ungkapkan faktor eksternal, yaitu sistem dan dinamika
lembaga kemahasiswaan. Sebenarnya faktor eksternal itu bisa kita eliminir
apabila faktor internal kita kuat, justru disinilah saya melihat kelemahannya.
Beberapa kelemahan faktor internal yang dapat saya ungkapkan adalah:
- Kurangnya
pemahaman Pembina Pandega terhadap konsep Pramuka Pandega. Mengapa ini
bisa terjadi, kita tidak bisa menyalahkan pada para Pembina, lagi-lagi
nasiblah yang bisa kita ratapi. Mengapa? Baiklah kita tengok program
pencetakan Pembina Pramuka Pandega yang dilakukan melalui Kursus Mahir
Dasar (KMD) dan Kursus Mahir Lanjutan (KML). Kita kaji kurikulum dan
pelaksanaan secara nasional KMD dan KML, adakah materi yang berkaitan dengan
kelembagaan, program dan arahan kegiatan, serta tata adat Racana
disampaikan dengan semestinya? Tidak, bukan? Hal itu akan lebih
menyedihkan lagi apabila kodrat yang dimaksud kita gunakan tolok ukur Rovering.
Sehingga sebenarnya tidak pada tempatnya apabila kita terlalu banyak
menuntut pada Kakak Pembina karena memang bekal yang dimiliki, secara
formal, tidak sesuai dengan kodratnya.
- Sebagian
aktivis Racana yang diduga kurang memiliki pemahaman pendidikan
kepramukaan secara komprehensif disebabkan (a) tidak adanya kontinyuitas
pendidikan kepramukaan yang dialami aktivis itu, dan (b) lemahnya sub
faktor Pembina sehingga menyebabkan kurangnya pemahaman pada diri Pramuka
Pandega.
Kedua faktor inilah yang nampaknya
membuat Racana akan selalu sulit berkembang. Sebetapapun hebatnya sebuah Racana
dapat mencetak pemikir dan praktisi kepramukaan namun apabila tidak diikuti
kedekatan pemahaman dan kemampuan Pembina Pramuka dengan kodratnya adalah suatu
yang naif, karena peserta didik (Pandega) selalu datang pergi sementara itu
yang relatif tetap di satuan adalah Pembinanya. Sehingga mestinya sosialisasi
kelembagaan, program dan arahan kegiatan serta tata adat Racana harus diberikan
sejak KMD dan diperdalam pada KML.
Bina Satuan Terpadu
Mau tidak mau agar kita tidak dikatakan
menyalahi kodrat, maka langkah yang paling strategis adalah merealisasikan
program bina satuan secara eksplisit dan kontinyu. Memang saat ini ada sebagian
kecil Pramuka Pandega yang tidak mau mengingkari kodratnya, yaitu dengan cara
melakukan bina satuan di Perindukan, Pasukan atau Ambalan. Sayang hal ini belum
dilakukan secara terprogram dan melembaga sehingga sulit dilakukan kontrol
aktivitas dan kualitas.
Adapun yang dimaksud bina satuan
terprogram adalah bahwa bina satuan dicantumkan ke dalam salah satu butir
program kerja tahunan pada Racana dan secara eksplisit ada tindak lanjutnya.
Sedangkan yang dimaksudkan melembaga yaitu adanya bentuk ikatan kerjasama
antara Racana/Gugusdepan dengan Gugusdepan yang ditempati sebagai ajang bina
satuan. Salah satu butir ikatan kerjasama yang diusulkan adalah kesediaan
Gugusdepan lokasi bina satuan untuk menerima Pramuka Pandega sebagai Pembantu
Pembina Satuan yang akan berlatih dan mengembangkan kemampuan dirinya di satuan
tersebut, keberadaan Pramuka Pandega dibatasi waktu untuk satu tahun program
berikutnya. Dengan kedudukan sebagai Pembantu Pembina Satuan saya pikir tidak
akan berpengaruh terhadap ketentuan batasan waktu bina satuan, karena bagaimanapun
juga Pembina Satuan merupakan orang pertama di satuan itu.
Apabila program bina satuan ini
berjalan, maka latihan rutin di Racana tidak akan terpola seperti latihan
Pasukan Penggalang/Ambalan Penegak. Karena latihan rutin akan berubah fungsi
sebagai ajang bertukar pikiran terhadap pelaksanaan bina satuan, pada
kesempatan inilah akan berlangsung proses pembelajaran yang tidak kita duga
dampaknya. Saya yakin bahwa pola pendekatan seperti itu akan mampu
menggarap realitas permasalahan pendidikan kepramukaan, dan karena itu, secara
metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni
prinsip bertindak untuk memperbaiki keadaan. Oleh Paulo Freire (1986: 35-47)
hal tersebut dikatakan makna dan hakekat praxis, yaitu :
Dalam bahasa kita, praxis dapat kita
sebut dengan “manunggal karsa, kata dan karya” karena manusia pada dasarnya
adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Ketiga aspek itu
tidak dapat dipisahkan, jika dipisahkan maka akan ada dua kutub ekstrem yaitu
pendewaan berlebihan pada kata (sebagaimana juga pendewaan berlebihan terhadap
konsep dasar dan regulasi Kwarnas/Dikti tanpa diikuti aksi nyata) atau
pendewaan berlebihan pada kerja.
Menyimak strategi pembelajaran yang
demikian maka proses pendidikan kepramukaan di Racana (baca : melalui program
bina satuan) setiap waktu dalam prosesnya akan merangsang ke arah diambilnya
suatu tindakan (praktek di satuan), kemudian tindakan itu direfleksikan kembali
(melalui pertemuan/latihan rutin di Racana), dan refleksi itu diambil tindakan
baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikannya
merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus menerus.
Dengan pendekatan bina satuan tersebut
maka akan dapat menghilangkan kebosanan Pandega dalam mengikuti latihan rutin.
Lantas pasti akan dipertanyakan: dimana keberadaan latihan rutin bagi Pramuka
Pandega? Menurut saya, latihan rutin di Racana sebagaimana bentuk latihan
Pasukan dan Ambalan sudah tidak ada.
Gantinya kita gunakan pendekatan
pengalaman berstrukturnya Pfeiffer dan Jones (1986: 151-158), yaitu melalui
tahapan mengalami, mengungkapkan, mengolah, menyimpulkan dan menerapkan.
Berdasarkan pendekatan pembelajaran pengalaman berstruktur inilah maka
sebenarnya seluruh kegiatan Racana baik yang terprogram maupun insidental
adalah merupakan media latihan rutin bagi Pramuka Pandega. Hanya masalahnya
bagaimana kita secara sadar dapat mengolah seluruh aktivitas sehingga mampu
membelajarkan Pramuka Pandega.
Selanjutnya, agar program bina
satuan ini dapat ditindaklanjuti maka diperlukan adanya (1) gerakan penyadaran
diri terhadap kodratnya; dan (2) langkah-langkah terpadu antar masing-masing
Gugusdepan yang berpangkalan di perguruan tinggi dengan Kwartirnya. Hal kedua
inilah yang saya sebut Bina Satuan Terpadu.
Adapun maksud Bina Satuan Terpadu
adalah program bina satuan yang melibatkan seluruh/beberapa Gugusdepan yang
berpangkalan di perguruan tinggi dengan keterpaduan dalam aspek (1) pembagian
lokasi bina satuan, dimana dalam hal ini di bawah koordinasi Kwartir
Cabang/Kwartir Ranting; (2) secara berkala (berkala tengah tahunan) mengadakan
pertemuan evaluasi pelaksanaan program bina satuan; dan (3) mendatangkan
Pelatih Pembina Pramuka dalam pertemuan evaluasi bina satuan di Racana
masing-masing atau secara gabungan dengan bimbingan/bantuan Korps Pelatih
Cabang.
Kiranya dengan pendekatan praxis dan
keterpaduan bina satuan ini kita dapat sedikit demi sedikit mengurai benang
kusut yang melilit Gerakan Pramuka. Sekaligus merupakan tindakan nyata bakti
Pramuka Pandega dalam usaha ikut serta mengembangkan sumber daya manusia dalam
Gerakan Pramuka. Be Prepared!
Fauzi Eko Pranyono adalah mantan Pemangku Adat dan
mantan Ketua Racana WR Supratman Gudep Yogyakarta 007
Sumber: http://fauziep.blogdetik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar